Hai hai.
sempat Fakum seminggu, nggarap tugas ini,dan tugas yang lainnya.
sempat Fakum seminggu, nggarap tugas ini,dan tugas yang lainnya.
Dan aku mau Sharing ke kalian, semoga membantu
PEMBAHASAN
TENTANG
STRATIFIKASI
SOSIAL
A. Pengertian Stratifikasi Sosial
Stratifikasi
sosiat atau disebut dengan pelapisan sosial telah dikenal saat manusia
menjalankan kehidupan. Terbentuknya sosaial yaitu dari hasil kebiasaan manusia
berkomunikais, berhubungan,atau bersosialisasi satu sama lain secara teratur
maupun tersusun, baik itu secara indiividual maupun berkelompok. Tapi apapun
wujudnya dalam kehidupan bersama sangat memerlukan penataan serta organisasi,
dalam rangka penataan pada kehidupan inilah yang pada akhirnya akan terbentuk
sedikit demi sedikit stratifikaisi sosial.
Stratifikasi
sosial yaitu suatu pengelompokan anggota masyarkat berdasarkan status yang
dimilikinya.
B. Pengertian
Stratifikasi Sosial menurut para Ahli
Menurut Petirim
A. Sorokin, bahwa stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau
masyarakat kedalam kelas kelas secara bertingkat (secara hierarkis).
Perwujudannya adalah kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah. Selanjutnya,
sorokin menjelaskan bahwa tidak ada keseimbangan dalam pembagian hak hak dan
kewajiban kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai pengaruhnya di antara
anggota-anggota masyarakat. Lapisan lapisan dalam masyarakat itu ada sejak
manusia mengenal kehidupan bersama dalam masyarakat. Menurut ia juga, bahwa
sistem berlapis-lapis itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap
masyarakat. Bagi siapa saja yang memiliki sesuatu yang dihargai atau
dibanggakan dalam jumlah yang lebih daripada yang lainnya, maka ia akan
dianggap mempunyai status yang lebih tinggi pula dalam masyarakat. Sebaliknya
bagi mereka yang hanya mempunyai kuantitas sesuatu yang dibanggakan lebih
sedikit, maka ia akan dianggap mempunyai status dalam masyarkat yang lebih
rendah.
Dalam kehidupan masyarakat biasanya selalu
terdapat perbedaan status antara orang satu dengan yang lainya, antara kelompok
satu dengan kelompok lainya. Ada yang mempunyai status sosial yang tinggi dan
ada pula yang mempunyai status status yang paling randah dalam kehidupan
masyarakat, sehingga kalau dilihat dari bentuknya seakan-akan status manusia
dalam masyarakat itu berlapis-lapis dari atas ke bawah.
Menurut Soerjono
Soekanto (1928), selama dalam suatu masyarakat ada sesuatu yang dihargai,
dan setiap masyarakat mempunyai sesuatu yang dihargai, maka hal itu akan
menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem berlapis-lapisan dalam
masyarakat itu. Barang sesuatu yang dihargai di dalam masyarakat itu mungkin
berupa uang atau benda-benda yang bernilai ekonomis, mungkin juga berupa tanah,
kekuasaan, ilmu pengetahuan, kesalehan dalam beragama, atau mungkin juga
keturunan dari keluarga yang terhormat.
Menurut Hassan
Shadily, mengatakan bahwa pada umunya lapisan dalam masyarkat menunjukan :
1. Keadaan senasib.
Dengan paham ini kita mengenal lapisan yang terendah, yaitu lapisan pengemis,
lapisan rakyat dan sebagainya.
2. Persamaan batin
ataupun kepandaian; lapisan terpelajar dan sebagainya.
Stratifkasi sosial tersebut merupakan
perbedaan (diferensiasi) yang berhubungan dengan pengertian perbedaan tingkat,
dimana anggota-anggota masyarakat berada di dalamnya.
C. Proses terjadinya
stratifikasi sosial
1. Terjadi secara
otomatis, terjadinya stratifikasi sosial secara otomatis dipengaruhi oleh
faktor faktor yang telah ada pada individu sejak lahir, seperti
Kepandaian,jenis kelamin,keturunan,jenis kelamin, dan sifat keaslian
keanggotaan seseorang dalam masyarakat.
2. Terjadi dengan sengaja untuk tujuan bersama yang dilakukan dalam
pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasi organisasi formal,
seperti pemerintahan,partai politik,perusahaan,perkumpulan, dan angkatan
berjenjata.
D. Unsur unsur
stratifikasi sosial
a.
Status sosial (status Obyektif)
Status merupakan
kedudukan sesorang yang dapat di tinjau dari hak dan kewajibannya terlepas dari
individunya. Jadi dapat di simpulkan bahwa status dapat dikatakan sebagai
konsep perbandingan peranan dalam masyarakat yang cerminankan dari hak dan kewajibannya dalam
tindakan manusia.
Status apabila
diperhatikan oleh masing – masing anggotanya akan menghasilkan pembentukan
norma – norma dalam masyarakat.
Ada
beberapa kriteria penentuan status seperti dikatakan oleh Talcott Parsons, yang
menyebutkan ada lima criteria yang digunakan untuk menentukan status atau
kedudukan seseorang dalam masyarakat, yaitu kelahiran, mutu pribadi, prestasi,
pemilikan, dan otoritas.
1)
Ascribed
Status
Ascribed
status merupakan status yang diperoleh seseorang tanpa usaha tertentu. Status
sosial ini biasanya diperoleh karena warisan, keturunan, atau kelahiran.
Contoh
2)
Achieved
Status
Status
ini diperoleh karena suatu prestasi tertentu. Atau dari
kualitas kerjanya .jadi dapat di simpulkan bahwa status
ini diperoleh seseorang dengan usaha-usaha yang disengaja. Status ini tidak
diperoleh atas dasar keturunan, akan tetapi tergantung pada kemampuan
masing-masing dalam mengejar serta mencapai tujuan-tujuannya.
b.Peranan sosial (status subyektif)
Peranan sosial merupakan dinamika
dari status atau penggunaan dari hak dan kewajiban dalam kehidupan di masyarakat.
Peranan diartikan sebagai perilaku yang diharapkan oleh pihak lain dalam
melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan status yang dimilikinya. sehingga
status dan peranan tidak dapat di pisahkan karna tidak ada status yang tidak
memiliki peranan dan tidak akan ada peran dalah masyarakat tanpa adanya status.
Setiap interaksi sosial yang
dilakukan dalam masyarakat merupakan hubungan
antara peranan peranan individu
dalam masyarakat. Dengan demikian
faktor yang menentukan bagaimana peranan yang akan
dilakukan ditentukan oleh :
1. Norma yang berlaku dalam situasi
interaksi, yakni sesuai dengan norma keseragaman yang berlaku dalam
kelompok atau masyarakat dalam situasi
yang sama
2. Apabila norma jelas, barulah dapat
dikatakan adanya kemungkinan besar untuk menjalankanya.
3. Apabia individu dihadapi dengan situasi dimana lebih dari satu norma
(yang dikenalnya) berlaku, ia akan berusaha untuk mengadakan kompromi dan
modufikasi antara norma norma ini.
c.
Hubungan
antara status dan peranan
Dalam kehidupan bermasyarakat
status dan peranan tidak ada artinya apabila tidak dipergunakan. Dengan adanya
banyak status dan peranan terbentuklah dimasyarakat suatu hearaksi status,
yaitu karna status mempunyai arti dalam masyarakat apabila ditinjau dari status
yang lebih tinggi atau lebih rendah. Karena manusia merupakan anggota dari
banyak kelompok. Dalam setiap kelompok ia mempunyai satatus dan peranan
tertentu. Karena banyak atau role conflict. Yaitu apabila seseorang dengan
status tertentu dikelompok satu, mengambil peranan lebih tinggi terhadap orang
yang sama dalam kelompok yang lain. Contoh : Dua orang dalam hubungan atasan
dan bawahan lebih rendah menjadi ketua
dari umpamanya kelompok olahraga. Dalam kelompok olahraga ini, atasan tidak
boleh bertindak sebagai atasan, tetapi harus bersikap seperti anggota biasa.
Sebaliknya apabila ketua kelompok olah raga di tempat kerja bersikap sebagai ketua atau kepala kantor, maka ia akan dapat
di tegur bahkan dikecam atau dikeluarkan oleh atasannya.
E. Stratifikasi
sosial dalam masyarakat berkembang
Masyarakat-masyarakat berkembang disebut
dengan istilah “masyarakat dalam transisi”. Ditinjau dari segi stratifikasi,
hal ini berarti bahwa dalam proses stratifikasi sosial sdang terjadi
perubahan-perubahan nilai dan patokan serta sebagai akibatnya kesukaran
pembentukan stratanya sendiri. Hal ini sedang terjadi karena lajunya
industrialisasi dan modernisasi sebagai akibat dari kemajuan teknologi dan
pemanfaatan ilmu pengetahuan; kemajuan kemajuan ini dipergunakan oleh
manusia untuk memperbaiki hidupnya.
Menentukan stratifikasi dalam suatu masyarakat
berkembang sangat sukar, karena masyarakatnya sedang mengalami perubahan
besar-besaran. Khusunya mengenai Indonesia terdapat cukup banyak kepustakaan
yang berusaha membahasnya. Perkembangan sejarah Indonesia serta penulisan-penulisan tentang hal ini
dapat menjelaskan bagaiman jalannya perubahan stratifikasi di Indonesia dari
abad ke abad terutama setelah runtuhnya Majapahit.
Dalam buku Soedjito Sosrodiharjo tentang
Perubahan Struktur Masyarakat, di Jawa, suatu Analisa (Yogyakarta 1968) dapat
diketahui bagaimana diskitar abad ke 13-14 pada lapisan teratas terdapat raja
(sebagai penguasa pemasaran di negaranya) diikuti oleh para pegawai negara dan
pujangga Kemudian baru pada zaman mundurnya kekuasaan majapahit, para bupati
khususnya disepanjang pantai jawa semakin lama makin mengambil peranan penting
(melalui pemasaran) ersaing dengan kekuasaan keraton. Akhirnya panjanf antara
yang memimpin dan yang dipimpin hal mana tampak dalam hubungan antar kawula dan
gusti
Pada akhir abad ke 19 timbullah suatu lapisan
masyarakat baru yaitu selain mereka yang berperan sebagai pemasar menengah
(pedagang Tionghoa) timbullah lapisan priayi. Lapisan ini diadakan oleh Belanda
dari anggota masyarakat lapisan nonbangasawan dan yang telah memperoleh
pendidikan untuk menjadi pegawai negeri. Masalah terbentuknya lapisan priayi
ini diterima oleh golongan bangsawan tidak tanpa perasaan tidak enak, mengingat
bahwa istilah priayi sebenarya berasalkan dari perkataan “para yayi” yang
berarti “adik-adik raja”, lapisan mana sebenarnya tidak mungkin dapat ditembus
oleh lapisan yang lebih rendah.
Perkembangan ini menjelaskan bahwa situasi
ekonomi maupun politik yang berubah (sebagaimana terbuktikan dengan perubahan
situasi ekonomi pada akhir zaman Majapahit dan zaman penjajahan sesudah VOC)
dapat menyebabkan terbentuknya lapisan-lapisan masyarakat serta struktur sosial
yang baru, dan bahwa perubahan sosial dalam banyak hal ditentukan oleh
perkembangan dibidang lain disamping bidang ekonomi dan politik.
Clifford Gertz yang menulis Peddlers and
Princes (1963) berdasarkan penelitiannya dijawa Timur dan Bali dalam tahun
1952-1954 menemukan bagaimana proses stratifikasi sebagai akibat modernisasi,
ditentukan oleh stratifikasi sosial sebelum modernisasi, sistem nilai
setempatdan hubungan manusia dengan lingkungan.
Dalam membahas stratifikasi perlu diperhatikan
bahwa terdapat perbedaan antara stratifikasi di desa dan di kota atau
stratifikasi yang berbeda-beda didaerah-daerah. M A Jaspan dalam tulisannya
Social Stratification and Social Mobility in Indonesia menjelaskan betapa
khususnya didaerah perdesaan Yogyakarta walaupun telah menjadi pusat dari
revolusi fisik indonesia. Masih diketemukan stratifikasi sosial yang
mengingatkan akan (sisa-sisa) perkembangan zaman feodal prarevolusi. Ia
menyebut bagaimana di desa-desa disekitar Yogyakarta elit desa mengalam
peningkatan status sosial dari stratifikasi lama dengan struktur sebagai
berikut :
a. Kuli kenceng
b. Kuli gundul
c. Kuli karangkopek
d. Indung tlosor
Adapun patokan penentu strata dalam masyarakat
desa tersebut didasarkan pada ukuran bersawah, berkebun dan memiliki rumah
untuk kuli kenceng : makin menurun jenis hak miliknya makin rendah kedudukan
orang di tangga sosial desa. Menurut jaspan lebih lanjut, dalam perkembangan
sejak dan setelah zaman kolonial disekitar Yogyakarta lapisan kuli “kulak “ dengan semakin lama menjadi kaya dan memiliki kadang-kadang
setengah dari luastotal tanah persawahan suaru desa. Kekayaan ini akhirnya
memungkinkannya menjadi pelepas uang atau dalam penggarapan tanah bisa
memperkerjakan seorang kuli gundul (penggarap) berdasarkan sistem maro.
Kadang-kadang seorang kuli kenceng dapat menjadi begitu kaya, sehingga ia dapat
memiliki beberapa tanah di desa tetangganya. Kemudian perkembangan kuli kenceng
sejak zaman kolonial adalah bahwa karena kekayaannya ia dapat tergolong kelas
bekel meningkat ke lapisan teratas dan didesa berkuasa (seperti lapisan para
lurah ), bahkan karena hubungan dan perkembangan lebih lanjut dapat menjadi
priayi. Mobilitas yang dialamai oleh lapisan kuli kenceng menurut Japan adalah
sedemiian rupa sehingga terjadi peningkatan lebih lanjut setelah revolusi fisik
dari kuli kenceng menjadi priayi.
W.M.F Hofstede sebagai hasil penelitiannya di
empat(4) desa di Jawa Barat dalam tahun 1970 menemukan penyederhanaan
stratifikasi menjadi :
a. elit desa
b. massa
keempat desa d Jawa Barat yang diteliti oleh
Hofsteede ialah desa Situraja, Bangkayang, Sindangsari, dan Purwodadi- pada
umumnya menunjukkan ciri stratifikasi demikian patokan pembentukan strata
berdasarkan hak milik atas sawah, kebun dan rumah makin lama makin kabur/kurang
diperhatikan. Elit setempat terdiri dari : lurah, pegawai-pegawai daerah dan
pusat, guru dan tokoh-tokoh politik maupun agama dan petani kaya. Selanjutnya
lapisan massa terdiri dari petani menengah, buruh tani dan pedagang kecil serta
pengrajin.
Situasi demikian menjelaskan adanya tendensi
perkembangan stratifikasi menurut “ ukuran modern” atau bahwa modernisasi juga
telah memasuki desa-desa. Keputusan desa diamil oleh pemimpin formal dan pemuka
masyarakat dengan suatu kerjasama yang lebih erat atau lebih renggang.
Tergantung dari kebiasaan/situasi desa.
Para pemimpin formal didesa ialah mereka yang
mempunyai kedudukan yang resmi dalam kegiatan administrasi desa, tergolong juga
para anggota Hansip dan kepala desa yang dipilih.
Pemuka masyarakat adalah orang-orang yang berpengaruh
di desa yang walaupun tidak menduduki suatu kedudukan resmi di desanya.
Bahwa golongan intelek desa juga tergolong
elit merupakan suatu patokan yang enunjukkan bahwa modernisasi sedangberjalan
didesa. Solo Sumardjan dalam penelitiannya terhadap suatu desa lain di Jawa
Barat, yaitu desa Bojong kecamatan Pangandaran, menemukan bahwa dalam
organisasi-organisasi jenis baru seperti umpamanya koperasi. Ada tendensi bahwa
intelek desa lebih giat dalam menjalankan dan menggerakkannya, yaitu karena
masalahnya berkaitan dengan masalah-masalah nasional. Sebaliknya ada tendensi
bahwa pekerjaan tradisional desa seperti umpamanya urusan lumbung desa dan
lain-lain diserahkan kepada mereka yang kurang terpelajar. Selanjutnyaada
tendensi pula bahwa kerjasama antara pemimpin formal dan pemuka masyarakat
kurang serasi., hal mana nampak sekali dalam pengambilan keputusan mengenai
proyek-proyek desa. Kadang-kadang bahkan terdapat situasi dimana para pemimpin
kurang mempunyai prakarsadan hanya patuh kepada lurah, walaupun mungkin sekali
sebaliknya para pemuka masyarakat merupakan anggota giat.
Situasi sebagaiman dibahas oleh Hofstede
menjelaskan betapa dinamiknya proses stratifikasi didesa dewasa ini. Berbagai
penelitian lebih lanjut di Jawa Barat juga menunjukkan bahwa jumlah tengkulak
di desa makin bertambah. Hal ini berarti bahwa nilai ekonomi yang modern
seperti penjualan jasa makin tersebar. Dilihat dari segi ekonomi dan usaha
pemerintah untuk menekann harga hal ini tentunya mnyukarkan, akan tetapi
dilihat dari segi sosiologi hal ini menjelaskan adanya penerimaan nilai sosial
baru, seperti menilai jasa disamping produksi dalam bentuk barang. Beda antara “kulak” yang dibahas di jawa
tengah bahwa “kulak” merupakan pedagang perantara sekaligus “kuli kenceng” yang
menadah hasil bumi petani desanya dan melemparkannya ke pasaran kota.
Sebaliknya di Jawa Barat “tengkulak”
merupakan tani/yang tak bertanah, tidak berkebun dan hanya menjualkan
barang dagangan orang lain. Keduanya bertindak sebagai pedagang perantara; yang
satu sebagai perantara yang lebih kaya dibandingkan dengan yang lain yang hanya
menjual jasa. Justru dalam “hanya menjual jasa” inilah tampak makin mersapnya
nilai baru kedesa karena desakan ekonomi di tingkat desa sendiri.
Hal-hal yang menentukan stratifikasi adalah :
a. Adanya dorongan
dalam berbagai kelompok dimasyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dalam
masyarakat.
b. Pada umumnya
dorongan ini tidak dirasakan efektif kecuali apabila terdapat hal-hal
yang sangat menyolok sehingga terjadi ketidak puasan yang akhirnya menyebabkan
gangguan terhadap kehidupan sosial.
c. Pendidikan
merupakan suatu unsur yang menyandarkan orang akan kekurangan dan
kepincang-pincangan dalam masyarakat, unsur mana akhirnya memungkinkan orang
mengadakan organisasi kegiatan.
d. Perorganisasian
terhadap suatu perubahan masyarakat khusunya dalam stratifikasi sosial selalu
datang dari sublapisan elit yang terendah dari masyarakat dengan kemungkinan
menggunakan massa untuk mencapai kepentingannya.
e. Suatu penerimaan
dari anggota-anggota masyarakat dari lapisan lebih rendah oleh lapisan yang
lebih tinggi untuk suatu masyarakat berarti suatu revolusi dalam sistem nilai.
f.
Kelompok yang mula-mula menolak “anggota baru”
merupakan kelompok yang bukan terutama berusaha mempertahankan kekuasaannya
akan tetapi karena mempertahankan nilai-nilai yang snagat berharga.
Perkembangan di indonesia menjelaskan bahwa
dalam proses stratifikasi sedang terjadi perubahan-perubahan besar. Lepas dari
masalah-masalah (politik maupun ekonomi) yang dibawanya, gerakan-gerakan
mahasiswa dan kadang-kadang gangguan
stabilitas sosial politik seperti di Surakarta (1980) menjelaskan bahwa di
Indonesa sering terjadi pengadaan stratifikasi baru dalam masyarakat nasional.
Dalam hubungan ini mahasiswa sebagi lapisan terbawah dari elit masyarakat
(sesuai teori Ponsioen tadi) sedang berusaha memperoleh pengakuan yang lebih
besar di masyarakat, sehubungan dengan peranan yang dirasakannya dalam
masyarakat Indonesia, dalam masa lampau, kini maupun masa depan.
Dilihat dari teori R.W Morrell mahasiswa
sebagai golongan yang masih tergolong lapisan semi profesional sedang berusaha
untuk menerobos garis AB yang merupakan pembatas antara massa dan elit.
Ukuran/patokan stratifikasi yang diberikan oleh Morrell merupakan patokan
penilaian baru tentang srata yaitu penilaian menurut keahlian dan keterampilan
menurut prestasi kurang berdasarkan prestise.
Para mahasiswa menuntut stratifikasi sosial
baru menurut patokan modern tidaklah bertentangan dengan pendidikan maupun
proses sosial sebagai akibatnya. Sebaliknya indonesia masih terlalu dibayangi
oleh stratifikasi dan penilaian serta kebudayaan feodal dari masa lampau,
sehingga tidak mungkin Indonesia dalam pembentukan stratifikasi aka dapat
“melompati bayangan sendiri” dari apa yang dibahas mengenai sosial khususnya
juga dalam negara berkembang, dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan antara
stratifikasi sosial dan stratifikasi politik.kedua-duanya hanya akan berhimpit
untuk tingkat yang etrtinggi. Hal ini mengingat bahwa terutama para politisi
berpendapat bahwa startifikasi sosial harus tercerminkan dalam stratifikasi
politik. Karena terbuktikan dimana-mana bahwa kegiatan politik merupakan suatu
profesi pula, kini bidang politik sendiri mengenal “stratifikasi” sesuai dengan
keahlian maupun keterampilan politikusnya.
Disamping itu dalam kehidupan sosial akan
terjadi perbedaan antara
stratifikasi kota maupun stratifikasi desa juga masyarakat homogen mengenal
stratifikasi. Justru kehidupan demokrasi dapat diukur dari bidang seberaba jauh
kehidupan dan stratifikasi sosial dan stratifikasi politik terpisah satu
sma lain : negara-negara totaliter maupun selalu akan berusaha bahwa
stratifikasi politik akan berimpit dengan stratifikasi sosial demi kekuasaanya.
Dalam situasi totaliter “politik menjadi panglima” justru karena usaha
mengimpitkan stratifikasi sosial. Prinsip demokrasi menginginkan suatu
kehidupan lebih mendekati “kehidupan bebas manusia” sesuai martabatnya.
Pembatasan terhadap kebebasan ni akan erjai dengan sendirinya dalam kehidupan
manusia sebagai warga negara suatu bangsa/negara, sehingga kehidupan sosial di
“pisah”dari politik : terjadilahperbedaan antara stratifikasi sosial dengan
stratifikasi politik.
Tidak dapat dihindari bahwa juga dalam suatu
negara demokrasi dimana patokan dan ukuran terhadap keahlian, kecakapan dan
keterampilan diambil sebagai ukuran, masih akan ada stratifikasi seperti demikian.
a. Elit :
orang-orang kaya dan orang-orang yang menempati kedudukan pekerjaan yang oleh
masyarakat sangat dinilai
b. Profesional : orang-orang
yang berijazah dan bergelar dan dari dunia perdagangan yang berhasil
c. Semi profesional
: pegawai kantor, pedagang, teknisi berpendidikan menengah, mereka yang tidak
berhasil mencapai gelar : memegang buku dan lain-lain.
d. Tenaga terampil :
rang-orang yang mempunyai keterampilan mekanik-teknik : penggunting rambut,
pekerja pabrik yang terampil dan bertender, stenograf dan lain-lain.
e. Tenaga semi
terampil : pekerja pabrik tanpa keterampilan, pengemudi truk, carik, pembantu
rumah tangga, pelayan restoran dan lain-lain.
f.
Tenaga tidak terlatih/tidak terdidik :
pembantu rmah tangga, tukang kebun, penyapu jalan dan lain-lain.
Stratifikasi sosial akan terjadi disetiap
masyarakat, karena unsur yang membentuknya :
a. Tugas dan
penempatan seorang/individu dalam masyarakat
b. Imbalan yang
diberikan oleh masyarakat kepada seorang berdasarkan penilaian materi maupun
non materi.
c. Kenyataan bahawa
untuk tugas-tugas yang sedemikian banyaknya dalam masyarakat.
Stratifikasi dalam masyarakat industri
Dibawah ini akan dibahas stratifikasi
sebagaimana diketemukab di Amerika Serikat yaitu terutama mengenai stratifikasi
sosiak dan bukan mengenai stratifikasi politik disana. Vance Packard yang
menulis buku The status seekers dalam tahun 1959 mengatakan dalam tahun empat puluhan
yaitu ketika dan segera setelah Perang Dunia II, Amerika Serikat mengalami
mobilitas keatas dengan dahsyatnya. Hal mana kurang dirasakan atau seakan-akan
terhenti dalam tahun-tahun menjelang tahun enam puluhan.
Bahkan ia mengatakan bagaimana dalam empat
puluhan tersebut masih terjadi melalui ukuran pendapatan para warga negara AS
yang meningkat terutama setelah tahun 1945 (akhir perang Dunia II) walaupun
demikian justru dengan adanya mobilitas keatas serta tercapainya suatu
stratifikasi yang stabil timbulah nilai-nilai baru dalan strata tertentu, yaitu
untuk tidak memamerkan kekayaannya.
Hal ini terutama dilakukan oleh elit AS sebagi
reaksi terhadap situasi depresi dalam tahun tigapuluhan. Justru elit Amerika
Serikat belajar dari pengalamannya bahwa orang yang berkuasa tanpa memamerkan
kekayaann, bahkam bahwa justru demi pengaruh terhadap masyarakat lebih baik
untuk tidak menunjukkan perbedaan materi. Walaupun demikian dapat dikatakan
bahwa secara “merata” telah terjadi peningkatan mobilitas keatas untk terbanyak
penduduk AS hal mana terjadi karena perubahan masyarakat. Salah satu unsur yang
jelas ialah berkurangnya beberpa bidang vocational skills dan bertambahnya
pekerjaan untuk whitecollars walaupun dalam praktek para pekerja pekerjaan
kasar memerlukan tidak memerlukan blue
jeans. Hal ini menjelaskan bahwa materi diamerika serikat tidak dapat dipakai
sebagai ukuran tentang status sosial seseorang.
Jenis pekerjaan
dan sehubungan dengan itu penilaian tentang stratifikasi obyektif orang ialah
pekerjaan dalam bidang jasa yang disesuaikan dengan kemajuan teknologi modern;
sebaliknya jenis jasa berdasarkan teknologi lama kurang dinilai. Walaupun
menurut Vance Packaard mobilitas keatas terus berjalan terutama melalui
pendidikan. Akan tetapi ada garis yang sukar dilampaui yaitu bukan lagi
perbedaan antara white collars dan blue collars upper middle class sehingga
garis pembatas terletak pada middle class sendiri. Perbedaan ini justru dalam
taraf pendidikan yang dialami seseorang, dimana collage diploma (perguruan
tinggi) merupakan semacam “paspor”untuk menerobos garis pembatas tadi. Karena
itu Vance Packard mengatakan elit aAmerika Serikat dewasa ini bukan terutama
elit keturunan maupun kekayaan, melainkan elit diploma (diploma elite).
Sampailah ia pada stratifikasi di Amerika Serikat sebagai berikut :
The diploma elit
i.
Real up class
ii.
Semi upper class
The
Supporting Clases
iii.
Limited succes class
iv.
Working class
v.
Real lower class
Perbedaan
yang besar/garis batas terletak pada apa yang sebelumnya dikenal sebagai middle
class hal mana disebabkan karena adanya ukuran baru yang obyektif, yaitu ijazah
perguruan tinggi. Adapun perbedaan sosial sebagai akibatnya dirumuskan oleh
Vance Packard sebagai berikut :
“The
diploma elite consists of the big, successful people who pretty much run
things. The supporting classes contain the passive non big people who wear both
white and blue collars : the small shopkeepers,workers, functionaries, techinal
aides”.
Beberapa
ciri dari real upper class menurut Packard ialah bahwa mereka biasanya
mempunyai modal dalam bank, industro atau mempunyai sebidang tanah, walaupun
mereka tidak memperlihatkannya. Mereka mempunyai waktu senggang yang banyak dan
justru penggunaan waktu senggang ini merupakan standar penilaian apakah
seseorang tergolong upper class yang baru atau lama. Mereka tergolong upper
class baru harus mengusahakan pengakuan dari mereka yang lama.
Cirikhas dari semi upper class atau upper middle ialah orang yang
berambisi, giat, yang mempunyai pendidikan universitas, dan sebenarnya
tergolong mereka yang dalam generasi pertama mengalami mobilitas keatas.
Perbedaan yang jelas antara real upper class dan semi upper class merupakan
suatu perbedaan psikologi dan sosial
“
members of this semi upper class are the hyperactive civic bossters who devote
themselves actively to their roles in service clubs and country clubs and their
wives power the local charity drives”
Dengan
demikian semi upper class berusaha memperoleh pengakuan dari real upper class
dengan kegiatan sosial yang berlebih-lebihan dan menyolok
Ciri
khas dari limited success class yang dikenal dengan istilah sebelumnya yaitu
lower middle class ialah bahwa mereka memaksa kelompoknya berusaha hidup
sebanyak mungkin sesuai norma-norma yan ada berbudayakan tinggi dan sangat
menggariskan perbedaan sosialnya dengan lapisan-lapisan dibawahnya. Kelompok
sosial ini memperlihatkan tendensi lebih senang akan keseragaman sangat taat
terhadap agama dibandingkan dengan lapisan diatas maupun dibawahnya. Terbanyak
dari anggota masyarakat kelompok ini berpendidikan sekolah lanjutan atau
mengalami beberapa pendidikan tambahan yaitu atas usaha sendiri atau dalam rangka pekerjaannya.
Kelompok
ini terdiri dari mereka yang dahulu tergolong lapisan rendahan yaitu white
collars ataupun lapisan atasan dari blue collars. Walaupun demikian lapisan
rendahan dari white collars sangat berambisi dan berusaha untuk naik dan
menggolongkan diri dalam semi elite akan tetapi akan tetapi sebaliknya mereka
tergolong lapisan teratas dari jenis pekerjaan blue collars justru merasa puas
dengan situasi sosial dan materinya. Dengan demikian yang merupakan lapisan
yang giat dari stratum ini ialah lapisan yang tergolong white collars rendahan.
Pembagian
dari Vance Packard ini sebagaimana bentuk-bentuk stratifikasi terdahulu tidak
merupakan pembagian yang murni. Hal ini disebabkan karena disamping
stratifikasi objektif terdapat stratifikasi sybyektif yaitu penilaian orang
terhadap dirinya dalam stratifikasi sosial yang ada dalam masyarakat. Hal ini
terutama menurut Packard pada kaum terpelajar yang biasanya mempunyai tendensi
untuk menggolongkan diri pada lapisan sosial yang lebih tinggi daripada
stratifikasi obyektif. Diantara kaum terpelajar sendiri terdapat perbedaan
antara bagaimana berpakaian dan cara seseorang dari lapisan tertentu harus
bertindak. Sebagai contoh disebutnya beberapa tendensi dari segelintir kelompok
intelektual yang justru suka bertindak dan berpakaian lain dan sebenarnya sukar
digolongkan kelompok intelek (asli) yaitu mereka yang bersikap Bohemia.
Sebaliknya justru kaum intelek (murni) lebih memperhatikan sifat kecenderungan
untuk menjalankan norma-norma sosial yang berlaku dan hidup tidak dalam keadaan
berbeda menyolok dengan kelompok sosialnya.
Mengenai
kelompok intelektual yang bersifat Bohemia bahkan Alferd von Martin lebih
cenderung untuk menggolongkannya sebagi orang-orang yang “pseudo-intelek”
karena meragukan dalamnya pengetahuannya. Kaum intelek yang murni selalu
didorong oleh keinginan akan prestasidalam menemukan dan mengambangkan
kebenaran dan keadilan. Karena itu ia biasanya menjadi perantara antara
pihak-pihak yang bertentangan dalam masyarakat karena mencari kebenaran dan
keadilan ; ia mempunya tanggung jawab sosial yang besar dan karenanya tidak
tergolong aliran nihilisme; ia tidak dapat bertindak a sosial walaupun banyak
orang terpelajar menggaris bawahi keterpelajarannya justru melalui jalan
ini. Oleh Yakob Burckhardt
karenanya sikap intelek demikian dinilai sebagai bersangkutan terlalu
menjauhkan diri dari masyarakat dan karenanya justru tidak mencerminkan nilai kaum terpelajar.
Dengan
kaum terpelajar sebagi contoh tampak bagaimana stratifikasi obyektif dan
stratifikasi subyektif biasanya tidak berimpit dan bahwa karenanya setiap usaha
encerminan stratifikasi dalam suatu masyarakat tidak bersifat murni terua=tama
karena disamping unsur-unsur sosial terdapat unsur-unsur psikologi yang akan
menentukan tingkah laku seorang hal mana kalau tidak diteliti lebih lanjut
mudah menggelincirkan oanf dengan mengunakannya sebagai patokan dan indikator
tentang lapisan sosial seseorang.
F. Faktor penyebab
terjadinya stratifikasi sosial
Dalam masyarakat yang paling sederhana tidak
terdapat stratifikasi social. Namun kebudayaan menjadi semakin kompleks, maka
mulailah perbedaan status muncul. Karena pekerjaan dibagi menjadi beberapa
jenis pekerjaan khusus, maka bebeerapa jenis pekerjaan pun menjadi lebih
dihargai dan diberi imbalan lebih tinggi daripada jenis pekerjaan lainnya.[1]
Beberapa factor yang menyebabkan adanya kelas
social (stratifikasi social) diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Kekayaan
Pada dasarnya kelas social merupakan suatu
cara hidup. Diperlukan banyak sekali uang untuk dapat hidup menurut cara hidup
orang berkelas social atas. Namun bukan hanya nominal uang yang dapat
menjadikan seseorang tersebut dapat dikatakan sebagain seseorang yang berkelas
soaial tinggi, tetapi juga perilakunya.
2. Pekerjaan
Penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan
professional lebih berfungsi daripada penghasilan yang berwujud upah pekerjaan
kasar. Sumber dari penghasilan (pekerjaan) seseorang memberi gambaran tentang
latar belakang keluarga dan kemungkinan cara hidupnya. Beberapa jenis pekerjaan
tertentu lebih terhormat daripada jenis pekerjaan laiinya inilah yang
menyebabkan adanya perbedaan kelas social berdasarkan pekerjaan yang dilakukan.
3. Pendidikan
Pendidikan yang tinggi memerlukan uang dan
motivasi kemudian jenis dan tinggi-rendahnya pendidikan memepengaruhi jenjang
kelas social. Pendidikan bukan hanya memberikan keterampilan kerja, tetapi juga
melahirkan perubahan mental, selera, minat, tujuan, etiket, serta cara
berbicara yang kemudian dapat merubah cara hidup seseorang secara keseluruhan. [2]
4. Agama
Sistem kasta yang terdapat di ajaran agama
hindu juga merupakan salah satu contoh kelas social. Perbedaan gelar sesuai profesi menyebabkan
terjadinya tingkatan-tingkatan social dalam masyarakat.
5. Gender
Perbedaan jenis
kelamin juga mempengaruhi status social suatu masyarakat. Pada dasarnya pria
dan wanita memiliki kepribadian yang berbeda sehingga menyebabkan adanya
beberapa sikap khusus yang menjadi basic bagaimana mereka bersosialisasi
dalam masyarakat. Hal ini sedikit banyak mempengaruhi kelas social mereka.
Contohnya kaum pria memiliki sifat kepemimpinan yang lebih tinggi daripada
wanita makan sebagian besar posisi pemimpin diduduki oleh kamu pria sehingga
tingkatan social mereka jadi lebih tinggi dari wanita. Namun hal ini bukan
menjadi suatu patokan pasti karena telah diberlakunya kesetaraan gender.
DAFTAR PUSTAKA
Darmawaty Yulia, Ahmad djamil.2011.Buku
saku sosiologi.Jakarta Selatan. Kawan Pustaka
Horton, B. Paul, dan Chester L. Hunt.
1984. Sosiologi. Edisi 6. Diterjemahkan oleh: Drs.
Aminuddin Ram, M.Ed. Jakarta: Erlangga
S Susanto Astrit .1983. Pengantar
Sosiologi Dan Perubahan Sosial.Jakarta. Bina cipta
Waluya Bagja.2007.Sosiologi: Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat.
Bandung. setia purna inves
[1]
Paul B. Horton dan Chester L. Hunt terjemahan, Sosiologi (Jakarta:
Erlangga, 1984) hal 01
[2]
Paul B. Horton dan Chester L. Hunt terjemahan, Sosiologi (Jakarta:
Erlangga, 1984) hal 11
Semoga Bisa membantu, ma'af bila artikelnya kurang tepat dan masih jauh dari harapan teman teman yang membaca blog ini